BERAGAMA: UNTUK TUHAN ATAU UNTUK DIPUJI?

Bagikan Keteman :


Di zaman ini, beragama telah menjadi bagian dari identitas sosial. Semakin banyak orang berlomba-lomba menampilkan kesalehan—baik melalui ritual yang meriah, ceramah yang menggelegar, busana yang Islami, hingga aktivitas sosial keagamaan yang ramai disorot kamera. Tapi benarkah semua itu dilakukan demi Allah? Atau jangan-jangan hanya demi ego, demi validasi, demi pujian?

Hati-Hati dengan Niat

Nabi Muhammad ﷺ telah memberi peringatan yang sangat jelas dan menggetarkan jiwa:

“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Lebih jauh lagi, dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah menggambarkan situasi di akhirat yang sangat mencengangkan:

  • Ada syuhada’—orang yang gugur di medan jihad—yang ternyata dimasukkan ke neraka.
  • Ada qari’, ahli Al-Qur’an, yang juga dilempar ke dalam neraka.
  • Ada pendakwah dan dermawan yang juga bernasib sama.

Mengapa? Karena niat mereka ternyata bukan untuk Allah. Mereka berjihad agar disebut pemberani. Mereka mengaji agar disebut qari’ terkenal. Mereka berdakwah agar dipandang alim. Mereka bersedekah agar disebut dermawan. Semuanya demi pujian manusia. Maka Allah berkata kepada mereka:

“Kau sudah mendapatkan balasanmu di dunia: pujian dan pengakuan. Hari ini, tidak ada bagian untukmu di sisi-Ku.”

Na’udzubillah.

Agama yang Menjadi Simbol Kosong

Fenomena ini kini nyata di hadapan kita. Orang-orang semarak dengan ritual—tetapi lemah dalam integritas. Banyak yang mengenakan simbol keagamaan—tetapi tidak jujur dalam bisnis. Mereka tampak relijius di media sosial—tetapi memupuk dengki dan kesombongan di dalam hati.

Agama pun kehilangan maknanya. Ibadah jadi sekadar rutinitas. Dakwah jadi panggung popularitas. Amal baik jadi bahan konten. Dan hati pun semakin jauh dari Tuhan. Yang tersisa hanyalah simbol, topeng, dan kehampaan.

Musibah dalam Beragama

Inilah musibah besar dalam kehidupan spiritual. Ketika seseorang merasa dirinya sudah dekat dengan Tuhan, padahal sejatinya ia sedang beribadah kepada egonya sendiri.

Ia ingin dikenal. Ia ingin diakui. Ia ingin dielu-elukan. Maka ia menjadikan agama sebagai kendaraan untuk menempuh ambisi pribadinya. Di permukaan tampak suci, namun di hadapan Tuhan, ibadah itu tiada arti.

Jangan Sampai Ibadah Ditolak

Bayangkan, betapa mengerikannya bila kelak di hari pembalasan, seluruh ibadah kita justru ditolak oleh Tuhan. Bukan karena kurang banyak, bukan karena kurang meriah, tetapi karena niatnya bukan untuk-Nya.

“Tuhan tidak menilai rupa dan tubuh kalian, tetapi menilai hati dan amal kalian.”
(HR. Muslim)

Maka satu hal yang paling patut dikhawatirkan oleh orang beriman bukanlah berapa banyak amal yang ia lakukan, tapi apakah niatnya benar-benar hanya untuk Allah?

Perbaiki Niat, Jaga Keikhlasan

Keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya. Tidak bisa dilihat manusia. Tidak bisa diukur dengan angka. Tapi Allah mengetahuinya.

Berikut beberapa langkah menjaga hati:

  • Selalu periksa niat sebelum melakukan amal. Tanyakan dalam hati: “Ini untuk Allah atau untuk manusia?”
  • Sembunyikan amal jika memungkinkan. Amal yang disembunyikan lebih aman dari riya’.
  • Kurangi haus pujian. Jika dipuji, kembalikan kepada Allah: “Semua ini karunia-Nya, bukan karena saya.”
  • Perbanyak istighfar. Karena riya’ bisa muncul tiba-tiba tanpa kita sadari.
  • Berdoa meminta keikhlasan. Karena ikhlas itu anugerah, bukan prestasi.

Doa Nabi yang patut sering kita baca:

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui.”
(HR. Ahmad)

Penutup: Agama yang Jujur

Agama yang sejati adalah agama yang jujur di hadapan Tuhan—bukan jujur di hadapan manusia.

Bila kita tak mampu menjadi orang yang paling banyak amalnya, maka setidaknya berjuanglah menjadi yang paling tulus niatnya. Karena amalan kecil yang ikhlas lebih berat timbangannya daripada amal besar yang penuh riya’.

“Orang-orang yang paling merugi amalnya adalah mereka yang mengira telah berbuat baik, padahal amalnya tertolak.”
(Tafsir QS. Al-Kahfi:103-104)


Beragamalah dengan hati-hati. Jangan sampai Tuhan menolak semua ibadah kita, hanya karena ternyata semuanya untuk diri sendiri—bukan untuk-Nya.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment